“KARTU KUNING ! KAMPUS RASA PABRIK “



Gambar hanya ilustrasi


Beberapa waktu kemarin dunia geakan mahasiswa ramai di perbincangan pasca di Skorsingnya dua orang mahasiswa Universitas Hasanudin Makassar terkait dengan poster yang mereka pasang di sekitar kampus dengan tajuk tulisan “Kampus rasa pabrik” dimana akhirnya mereka di skorsing oleh otoritas kampus akibat gerakan yang mereka lakukan berdua. Aksi lain yang tidak kalah menggegerkan Indonesia adalaH aksi kartu kuning yang diberikan untuk Joko Widodo oleh Presiden Mahasiswa UI Zaadit Taqwa yang juga menjadi pro dan kontra dikalangan pemangku kepentingan termasuk yang mereka seharusnya terwakilkan oleh aksi Zaadith ini. Kejadian tersebut menjadi pro kontra ada yang ada yang menyatakan dukungan ada pula yang menyatakan itu tidak etis, tidak sopan, dan lain sebagainya. Namun penulis tidak ingin membahas terkait hal tersebut

Terlepas dari pro kontra terhadap aksi 3 mahasiswa di atas. Paling tidak in merupakan sebauh keberanian yang sangat di rindukan oleh beberapa kalangan agar seyogyanya mahasiswa harus kembali ke khittahnya sebagai penyeimbang, sebagai kontrol ataupun sebagai pengingat, terlebih adalah pengingat di Kampus di mana dia menempuh pendidikan dan membangun karakter. Namun rasaya konsep pendidikan yang di kelola menjadi sesuatu yang tidak menaruh kesempatan tersebut.

Lebih jauh terkait pembasan hal tersebut, penulis ingin bercerita terkait buku yang beberapa belakangan penulis baca, Tulisan Prof. Rhenald Kasali Ph.D “Strowberry Generation”.
Ada sebuah cerita beliau yang cukup aneh jika kita berkaca dari pengelolaan pendidikan di Indonesia yakni ketika anak Rhenald Kasali Sekolah di Amerika dan waktu itu ada tugas untuk mengarang dengan kosakata berbahasa Inggris. Sang anak berusaha keras untuk mengarang dengan kosakata bahasa Inggris tersebut dan sebelum di Kumpulkan di mintalah sang Ayah mengoreksi tugas tersebut dan Rhenald Kasali beberapa kali meminta sang anak untuk mengulang tugasnya karena Prof. Rhenald merasa itu banyak kesealahan(karena memang sanganak baru saja pindah dari Indonesia). Beberapa waktu kemudian sang anak menyerahkan hasil tugas yang sudah di di ulang beberapa kali hingga sang anak mnyerah kepada sang pendidik di Sekolah, dan hasilnya sangat menkajubkan, sang anak mendapat nilai”E” (Excellent). Betapa terkejutnya Prof. Rhenald melihat nilai tersebut. bagaimana tidak, bagi Prof. Rhenald karangan tersebut tidak layak mendapat nilai sesempurna itu. Akhirnya Prof. Rhenald datang ke Sekolah untuk menanyakan perihal dengan apa yang dilihat secara langsung ,apakah tidak salah sang Guru memberikan nilai seperti itu.
Ketika beliau protes,ibu guru yang menerima saya anya bertanya singkat “Maaf Bapak darimana, dari Indonesia jwab beliau”. “saya mengerti” jawab guru tersebut, beberapa kali saya bertemu dengan ayah dan ibu asal Indonesia yang anaknya di didik di sini, lanjutnya “Di Negeri anda, Guru sangat sulit memberikan Nilai, Philosofis kami mendidik adalah bukan untuk menghukum melainkan merangsang mereka untuk maju, Encourgement” lanjutnya.

Kasus lain yang di Ceritakan oleh Prof. Rhenald Kasali bahwa jika di Bandingkan di Indonesia di Selendia baru Mata Pelajaran siswa sekolah hanya 6 mata pelajaran dan hanya 2  yang wajib, dan 4 di antaranya adalah mata pelajaran pendukung minat dan peminatan.
Bayangkan dengan di Indonesia jika di bandingkan dua kasus di atas. Saat tugas atau ujian kita di bawah standart yang  ditetapkan misalnya 55 dan kita mendzpatkan kurang 55 maka kita kenal namanya  remedial. Remedial yang anehnya adalah soal yang sama nomor yang sama dan hasilnya pasti adalah nilai standart kelulusan berapapun hasil jawaban yang benar saat remedial.Jika boleh  kita berfikir buruk ujian remedial tersebut tidak akan di koreksi oleh sang dosen karena walaupun bener semua atau salah semua juga akan di berikan nilai standart (Mudahan ini persepsi salah penulis).

Kasus kedua, bayangkan saat penulis masih berada di bangku perkuliahan,sekali dosen masuk ada yang membawa hingga 12 Power point yng jumlah slidenya juga tidak main-main ada yang sampai 40 bahkan lebih dengan powertext nya dimana itu di habiskan harus dalam 100 menit. “kan kalian mahasiswa jadi harus belajar sendiri di rumah jangan lagi menjadi siswa, dimana siswa yang di suapi terus jawaban klasik dalam rangka menggugurkan kewajiban dalam tuntutan kurikulum di Indonesia. Apakah itu salah ? satu sisi benar anda bukan lagi mahasiswa tapi pendidik juga harus sadar bahwa pemahaman yang mendalam (deep understanding) lebih di butuhkan daripada tau banyak tapi tidak paham.

Inilah yang menjadikan kita sebagai peserta didik di kuras fikirannya hanya untuk mengeajr nilai semata tanpa memperdulikan nilai-nilai  kehidupan dan juga karakter. Lembaga pedidikan kita hanya menginginkan kita menjadi pengejar nilai akademik bahwa siswa/mahasiswa yang nilai akademiknya tinggi itulah yang di anggap siswa/mahasiswa yang baik dan berbakti. Sehingga jangankan melakukan tindakan seperti mahasiswa UNHAS dan UI untuk mempertanyakan jadwal akademik yang inkonsisten mereka sudah akan di ancam secara nilai akdemik dan tidak di berikan respek ketika melakukan aktivitas sehari hari di lingkungan akademik dan itu penulis pernah rasakan. Dan itu rasanya menjadi sebuah kekuatan untuk melunturkan jarak siswa/mahasiswa terhadap pengelola pendidikan. lebih sederhana lagi untuk melakukan protes seperti macam itu, mengutip pernyataanKetua BEM IPB dalam Takshow Najwa Shihab bahwa bagaimana mahasiswa sempat berfikri untuk kritis kalau seharian waktunya di habiskan diperas untuk mengerjakan tugas, praktikum, dan lainnya. mahasiswa tidak di bukakan ruang diskusi. bahkan pengelola  pendidikan menganggap harus di batasi mereka yang aktif Organisasi dan bahkan ada juga yang menganggap itu tidak penting dan cenderung di larang degan berbagai dalil dan alasan bahkan ada mereka yang aktif di Organisasi di berikan perlakuan berbeda dalam kehidupan akademik Kampus.

Siswa/mahasiswa di didik sekedar untuk memindahkan isi buku ke dalam otaknya. Padahal memahami isi buku dan eksekusi dalam dunia nyata adalah kuncinya. Siswa/mahasiswa Bukan di  didik untuk menjadi seseorang yang bermental petarung dalam dunia realita kehidupan. Sehingga sangat aneh ketika siswa/mahasiswa protes tentang pengelolaan pendidkan dan mengadukan ini kepada pihak yang memiliki wewenang sebagai pendengar keluh kesah siswa/mahasiswa malah di cap sebagai siswa/mahasiswa yang kurang  ajar dan tidak beretika. Mereka marah ketika hal tersebut di lakukan dengan alasan tidak perlu orang lain tau tentang kita,biar selesaikan di internal kita sendiri. tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api.

Namun apakah sepenuhnya dunia pendidkan kita salah ? Jawaban penulis, TIDAK!

Jika kita ingin menjadi seorang siswa/mahasiswa Kritkus kita juga harus cerdas dan mampu bersaing secara keilmuan dengan rekan-rekan kita yang hanya berkutat memeras otak sebagai usaha memindahkan sekedar teks buku ke dalam otak menjelang Ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Agar nilai bergaining power anda kuat, sebagai pengkritik anda juga harus cerdas dan mampu bersaing dengan yang lain dalam tembok kubangan ketidak bebebasan akan berfikir tetnang lingkugnan sosial.
Terlepas dari itu semua penulis atas nama pribadi mengucapkan terimakasih kepad seluruh pendidik yang telah mendidik penulis hingga hari ini. Pesan penulis hanya satu saja untuk pengelola pendidikan, jangan menjadikan Sekolah dan  kampus rasa pabrik sebelum di Kartu Kuning oleh pemilik hak untuk protes.

@el_mas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox

@templatesyard